Kompas,
Rabu, 26 Maret 2014
MENGANGKAT
KESEHARIAN KAMPUNG DALAM SASTRA
Abdian Rahman ialah penulis cerpem yang mengangkat keseharian kampung dalam cerpennya yang ditu jukkan dalam beberapa judul cerpennya, antara lain Perempuan dalam Sakaya. Kuburan Uak, dan Sorea yang berarti pengumuman untuk sebuah
kegiatan di kampung dengan cara berteriak. Kosakata itu ialah kosakata bahasa
Kaili yang banyak digunakan di daerah Sulawesi tengah.
Abdian
menggunakan istilah-istilah ini dengan tujuan agar bahasa local tidak punah,
dan juga kosakata-kosakata itu terasa lebih emosional,sastrawi, dan simbolis.
Abdian ialah mahasiswa jurusan
Bahasa Indonesia Fakultas ilmu Pendidikan dan Keguruan di Universitas Tadulako
(FKIP, Untad) di Palu, tahun 2011. Sejak lulus itulah abdian memutuskan untuk
tinggal di kampung,. Ia mengabdika dirinya sebagai guru honorer di SMP dan SMA
di Desa Meli, Balaesang, Kabupaten Donggal. hal inilah yang membuat abdian
tertarik untuk menulis kehidupan masyarakat Kaili, baik yang masa kini maupun
masa lampau. Abdian adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ia menekuni
tulis-menulis sejak ia baru pertama masuk kuliah pada tahun 2007. Pada tahun
pertama kuliah, ia langsung bergabung dengan Sanggar Seni Bahana milik Jurusan
Bahasa Indonesia FKIP Untad. Sanggar ini berfokus pada penggarapan seni local
yang dikemas secara teatrikal dan musical, seperti ide dari Badian untuk
menggarap Balia menjadi sentuhan panggung. Balia merupakan upacara masyarakat
Kaili untuk menyembuhkan orang sakit. Upacara ini diiringi oleh lalove (suling
panjang), tabuhan gimba (kendang), serta tarian dan nyanyian.
Tetua Adat
Sanggar
seni bahana membawa bdian untuk mengetahuo kebiasaan, ujaran, cerita rakyat,
serta dongeng-dongeng yang berkembang saat zaman nenek moyang , nilai-nilai
local yang belakanga ini mulai hilang oleh karena budaya lain. Ketika Abdian
pulang kampung, ia pun aktif berinteraksi dengan tetua-tetua adat. Tetua itu
bercerita bahwa individu dalam masyarakat yang menajdi sorea akan berkorban
karena sorea itu berteriak-teriak secara manual di sepanjang kampung untuk
mengumumkan acara-acara besar seperti adanya pertemuan pengumuman ataupun
kegiatan keagamaan. Untuk menulis cerpen-cerpennya, Abdian menemukan inspirasi
dengan cara mendayung kapal sampai di laut tepat diperbatasan antara teluk Palu
dan selat Makasar.
Momentum
modal
yang ia dapat disanggar ditambah dialog informal dengan tetua kampung
mendapatkan momentum pada tahun 2009. Abdian bergabung dengan Lembaga Pers
Mahasiswa Untad. Hal yang utama yang dilatih olehnya ialah melatih keterampilam
dalam menulisnya. Hasilnya pada tahun 2009 ia sudah bisa menyelesaikann cerpen
pertamanya yang berjudul ‘Kupu-kupu Hijau” . Cerpen abdian lalu dikirimkan olehnya ke Media
Publishing di Jakarta. Pada tahun 2011 cerpennya tersebut diterbitkan dalam
antologi Karena Aku tercipta istimewa”.
Sanggar Seni
Selain
menjara di SMAN 2 Labean Kecamatan Balaesang dia juga mengajar di Sanggar Seni
Hati. Di sanggar ini BAdian menularkan kecintaannya dalam dunia teater, serta
menulis sastra seperti puisi dan cerpen. Sesuai obsesi dari ABdian ia mengajak
siswa untuk menggarap isu pergulatan dan dinamika masyarakat Kaili. Karena ketertarikannya
pada Sulawesi Tengah, ketika ia mengajar ia sering dianggap menyeleneh karena
setiap apa yang diceritakannya tidak pernah lepas untuk bercerota tentang
cerita rakyat Sulawesi Tengah. Dari pengalaman mengajar inilah ia yakin bahwa
masih banyak anak uda yang ingin menekuni
dunia sastra asalkan disediakan wadah dan membka akses seluas-luasya
untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar